Rabu, 09 November 2011

Teori Belajar Behavior

.BAB I

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah

Teori belajar adalah teori yang prakmatik dan eklektik. Teori dengan sifat demikian ini hampir dipastikan tidak pernah mempunyai sifat ekstrim. Tidak ada teori belajar yang secara ekstrim memperhatikan aspek siswa saja, aspek guru saja, aspek kurikulum saja dan sebagainya.

Titik fokus yang menjadi pusat perhatian suatu teori selalu ada. Ada yang lebih mementingkan proses belajar, ada yang lebih mementingkan sistem informasi yang diolah dalam proses belajar, dan lain-lain. Namun faktor-faktor lain du luar titik fokus itu juga selalu diperlukan untuk menjelaskan seluruh persoalan belajar yang dibahas.

Manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial. Dalam hubungannya manusia sebagai makhluk sosial, terkandung suatu maksud bahwa manusia bagaimanapun juga tidak lepas dari individu yang lainnya. Secara kodrati manusia akan selalu hidup bersama. Hidup bersama antar manusia akan berlangsung dalam berbagai bentuk komunikasi dan situasi. Dalam kehidupan semacam inilah terjadi interaksi. Dengan demikian kegiatan hidup manusia akan selalu disertai dengan proses interaksi atau komunikasi, baik interaksi dengan alam lingkungan, interaksi dengan sesama, maupun interaksi dengan tuhannya, baik itu sengaja maupun tidak disengaja.

Sehubungan dengan hal tersebut, dengan ketidak terbatasannya akal dan keinginan manusia, untuk itu perlu difahami secara benar mengenai pengertian proses dan interaksi belajar. Belajar dan mengajar adalah dua kegiatan yang tunggal tapi memang memiliki makna yang berbeda. Belajar diartikan sebagai suatu perubahan tingkah-laku karena hasil dari pengalaman yang diperoleh. Sedangkan mengajar adalah kegiatan menyediakan kondisi yang merangsang serta mangarahkan kegiatan belajar siswa/subjek belajar untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang dapat membawa perubahan serta kesadaran diri sebagai pribadi.

B. Rumusan Masalah

1. Apa definisi teori belajar psikologi behavioristik?

2. Apa definisi teori belajar psikologi kognitifistik?

3. Bagaimana konsep teori belajar behavioristik dan kognitifistik?

4. Apa kelebihan dan kekurangan dari teori belajar untuk materi pembelajaran tertentu di sekolah?

5. Bagaimana implikasi dari teori-teori belajar tersebut?


C. Tujuan Pembahasan

1. Memahami ciri dan konsep ketiga teori belajar psikologi.

2. Mampu mengaplikasikan sebuah teori terhadap pembelajaran di sekolah.

3. Mengetahui bagaimana cara menerapkan teori-teori belajar dalam pendidikan.

4. Mendeskripsikan implikasi teori belajar.

5. Mengkaji implikasi dari teori-teori belajar.





BAB II

PEMBAHASAN


a. Teori Belajar

1. Teori Behaviorisme

Secara pragmatis, teori belajar dapat dipahami sebagai prinspip umum atau kumpulan prinsip yang saling berhubungan dan merupakan penjelasan atas sejumlah fakta dan penemuan yang berkaitan dengan peristiwa belajar.[1]

Teori belajar behaviorisme adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman.[2]

Behaviorisme merupakan salah satu pendekatan untuk memahami perilaku individu. Behaviorisme memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek-aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu. Teori kaum behavoris lebih dikenal dengan nama teori belajar, karena seluruh perilaku manusia adalah hasil belajar. Belajar artinya perbahan perilaku organise sebagai pengaruh lingkungan. Behaviorisme tidak mau mempersoalkan apakah manusia baik atau jelek, rasional atau emosional, behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilakunya dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan.

Dalam arti teori belajar yang lebih menekankan pada tingkah laku manusia. Memandang individu sebagai makhluk reaktif yang memberi respon terhadap lingkungan. Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka. Dari hal ini, timbulah konsep ”manusia mesin” (Homo Mechanicus). Ciri dari teori ini adalah

1. Mementingkan faktor lingkungan

2. Menekankan pada faktor bagian

3. Menekankan pada tingkah laku yang nampak dengan mempergunakan metode obyektif.

4. Bersifat mekanis

5. Mementingkan masa lalu

6. Mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil

7. Mementingkan pembentukan reaksi atau respon

8. Menekankan pentingnya latihan

9. Mementingkan mekanisme hasil belajar

10. Mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan.

Pada teori belajar ini sering disebut S-R psikologis artinya bahwa tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran atau reward dan penguatan atau reinforcement dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang erat antara reaksi-reaksi behavioural dengan stimulusnya. Guru yang menganut pandangan ini berpandapat bahwa tingkahlaku siswa merupakan reaksi terhadap lingkungan dan tingkahl laku adalah hasil belajar.

b. Tokoh-Tokoh Teori Belajar Behaviorisme

1. Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936)

Ivan Petrovich Pavlov lahir 14 September 1849 di Ryazan Rusia. Ia mengemukakan bahwa dengan menerapkan strategi ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan, sementara individu tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya.[3]

Pavlov mengadakan percobaan laboratories terhadap anjing. Dalam percobaan ini anjing di beri stimulus bersarat sehingga terjadi reaksi bersarat pada anjing. Contoh situasi percobaan tersebut pada manusia adalah bunyi bel di kelas untuk penanda waktu tanpa disadari menyebabkan proses penandaan sesuatu terhadap bunyi-bunyian yang berbeda dari pedagang makan, bel masuk, dan antri di bank. Dari contoh tersebut diterapkan strategi Pavlo ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan. Sementara individu tidak sadar dikendalikan oleh stimulus dari luar. Belajar menurut teori ini adalah suatu proses perubahan yang terjadi karena adanya syarat-syarat yang menimbulkan reaksi.Yang terpenting dalam belajar menurut teori ini adalah adanya latihan dan pengulangan. Kelemahan teori ini adalah belajar hanyalah terjadi secara otomatis keaktifan dan penentuan pribadi dihiraukan.

2. Thorndike (1874-1949)

Menurut Thorndike belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa yang disebut stimulus dan respon. Thorndike menggambarkan proses belajar sebagai proses pemecahan masalah. Dalam penyelidikannya tentang proses belajar, pelajar harus diberi persoalan, dalam hal ini Thorndike melakukan eksperimen dengan sebuah puzzlebox. Eksperimen yang dilakukan adalah dengan kucing yang dimasukkan pada sangkar tertutup yang apabila pintunya dapat dibuka secara otomatis bila knop di dalam sangkar disentuh. Percobaan tersebut menghasilkan teori Trial dan Error. Ciri-ciri belajar dengan Trial dan Error Yaitu : adanya aktivitas, ada berbagai respon terhadap berbagai situasi, ada eliminasai terhadap berbagai respon yang salah, ada kemajuan reaksi-reaksi mencapai tujuan.

Atas dasar percobaan di atas, Thorndike menemukan hukum-hukum belajar :

1) Hukum Kesiapan (Law of Readiness)

Jika suatu organisme didukung oleh kesiapan yang kuat untuk memperoleh stimulus maka pelaksanaan tingkah laku akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosaiasi cenderung diperkuat.

2) Hukum Latihan

Hukum latihan akan menyebabkan makin kuat atau makin lemah hubungan S-R. Semakin sering suatu tingkah laku dilatih atau digunakan maka asosiasi tersebut semakin kuat. Hukum ini sebenarnya tercermin dalam perkataan repetioest mater studiorum atau practice makes perfect.

3) Hukum akibat ( Efek )

Hubungan stimulus dan respon cenderung diperkuat bila akibat menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan. Rumusan tingkat hukum akibat adalah, bahwa suatu tindakan yang disertai hasil menyenangkan cenderung untuk dipertahankan dan pada waktu lain akan diulangi. Jadi hokum akibat menunjukkan bagaimana pengaruh hasil suatu tindakan bagi perbuatan serupa.

3. Skinner (1904-1990)

Skinner menganggap reward dan reinforcement merupakan faktor penting dalam belajar. Skinner berpendapat bahwa tujuan psikologi adalah meramal, mengontrol tingkah laku. Pada teori ini guru memberi penghargaan hadiah atau nilai tinggi sehingga anak akan lebih rajin. Teori ini juga disebut dengan operant conditioning. Operant conditioning adalah suatu proses penguatan perilaku operant yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat diulang kembali atau menghilang sesuai keinginan.

Operant conditing menjamin respon terhadap stimuli. Bila tidak menunjukkan stimuli maka guru tidak dapat membimbing siswa untuk mengarahkan tingkah lakunya. Guru memiliki peran dalam mengontrol dan mengarahkan siswa dalam proses belajar sehingga tercapai tujuan yang diinginkan.

Prinsip belajar Skinners adalah :

i. Hasil belajar harus segera diberitahukan pada siswa jika salah dibetulkan jika benar diberi penguat.

ii. Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar. Materi pelajaran digunakan sebagai sistem modul.

iii. Dalam proses pembelajaran lebih dipentingkan aktivitas sendiri, tidak digunakan hukuman. Untuk itu lingkungan perlu diubah untuk menghindari hukuman.

iv. Tingkah laku yang diinginkan pendidik diberi hadiah dan sebaiknya hadiah diberikan dengan digunakannya jadwal variable ratio reinforcer.

v. dalam pembelajaran digunakan shapping.


c. Analisis Tentang Teori Behavioristik

Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang pebelajar dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang sederhana sampai yang komplek (Paul, 1997).

Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.

Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.

Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.

Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang mempengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekedar pembentukan atau shaping.

Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi pebelajar untuk berpikir dan berimajinasi.

Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu:

a. Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara.

b. Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama.

c. Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya.

Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang pebelajar perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika pebelajar tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak mengenakkan pebelajar (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong pebelajar untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons.


d. Aplikasi Teori Behavioristik dalam Pembelajaran

Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.

Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.

Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.

Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.

Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pebelajar.

Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.

Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya.

Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual.


2. Teori Belajar Kognitivisme

Ada beberapa ahli yang belum merasa puas terhadap penemuan para ahli sebelumnya mengenai belajar sebagai sebuah proses hubungan stimulus-response-reinforcement. Mereka berpendapat bahwa tingkah laku seseorang tidak hanya dikontrol oleh reward dan reinforcement. Menurut mereka tingkah laku seseorang senantiasa didasarkan pada kognitif, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi. Dalam situasi belajar, seseorang terlibat langsung dalam situasi itu dan memperoleh insight untuk pemecahan masalah. Jadi kaum kognitifis berpandangan, bahwa tingkah laku seseorang lebih bergantung kepada pemahaman terhadap hubungan – hubungan yang ada didalam suatu situasi. Mereka memberi tekanan pada organisasi pegamatan atas stimuli di dalam lingkungan serta pada faktor yang mempengaruhi pengematran tersebut.

a. Teori kognitif Gestalt

Teori kognitif mulai berkembang dengan lahirnya teori belajar gestalt. Peletak dasar teori gestalt adalah Merx Wertheimer (1880-1943) yang meneliti tentang pengamatan dan problem solving. Sumbangannya diikuti oleh Kurt Koffka (1886-1941) yang menguraikan secara terperinci tentang hukum-hukum pengamatan, kemudian Wolfgang Kohler (1887-1959) yang meneliti tentang insight pada simpase. Kaum gestaltis berpendapat bahwa pengalaman itu berstuktur yang terbentuk dalam suatu keseluruhan. Menurut pandangan gestaltis, semua kegiatan belajar menggunakan pemahaman terhadap hubungan hubungan, terutama hubungan antara bagian dan keseluruhan. Intinya, menurut mereka, tingkat kejelasan dan keberartian dari apa yang diamati dalam situasi belajar adalah lebih meningkatkan kemampuan belajar seseorang dari pada dengan hukuman dan ganjaran.

b. Teori belajar Cognitive-field dari Lewin

Kurt Lewin (1892-1947) mengembangkan suatu teori belajar kognitiv-field dengan menaruh perhatian kepada kepribadian dan psikologi social. Lewin memandang masing-masing individu berada di dalam suatu medan kekuatan yang bersifat psikologis. Medan dimana individu bereaksi disebut life space. Life space mencankup perwujudan lingkungan di mana individu bereaksi, misalnya ; orang – orang yang dijumpainya, objek material yang ia hadapi serta fungsi kejiwaan yang ia miliki. Jadi menurut Lewin, belajar berlangsung sebagai akibat dari perubahan dalam struktur kognitif. Perubahan sruktur kognitif itu adalah hasil dari dua macam kekuatan, satu dari stuktur medan kognisi itu sendiri, yang lainya dari kebutuhan motivasi internal individu. Lewin memberikan peranan lebih penting pada motivasi dari reward.

c. Teori Belajar Cognitive Developmental dari Piaget

Dalam teorinya, Piaget memandang bahwa proses berpikir sebagai aktivitas gradual dari fungsi intelektual dari konkret menuju abstrak.

Piaget adalah ahli psikolog developmentat karena penelitiannya mengenai tahap tahap perkembangan pribadi serta perubahan umur yang mempengaruhi kemampuan belajar individu. Menurut Piaget, pertumbuhan kapasitas mental memberikan kemampuan-kemapuan mental yang sebelumnya tidak ada. Pertumbuhan intelektuan adalah tidak kuantitatif, melainkan kualitatif. Pada intinya, perkembangan kognitif bergantung kepada akomodasi. Kepada siswa harus diberikan suatu area yang belum diketahui agar ia dapat belajar, karena ia tak daapat belajar dari apa yang telah diketahuinya.

d. Jerome Bruner dengan Discovery Learningnya

Yang menjadikan dasar ide J. Bruner ialah pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan secara aktif di dalam belajar di kelas. Untuk itu bruner memakai cara dengan apa yang disebutnya discovery learning, yaitu dimana murid mengorganisasi bahan pelajaran yang dipelajarai dengan suatu bentuk akhir yang sesuai dengan tingkat kemajuan anak tersebut. Bruner menyebutkan hendaknya guru harus memberikan kesempatan kepada muridnya untuk menjadi seorang problem solver, seorang scientist, historian atau ahli matematika. Biarkan murid kita menemukan arti bagi diri mereka sendiri dan memungkinkan mereka mempelajari konsep-konsep di dalam bahasa yang mereka mengerti.[4]

Belajar seharusnya menjadi kegiatan yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Belajar merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia yang paling penting dalam upaya mempertahankan hidup dan mengembangkan diri. Dalam dunia pendidikan belajar merupakan aktivitas pokok dalam penyelenggaraan proses belajar-mengajar. Melalui belajar seseorang dapat memahami sesuatu konsep yang baru, dan atau mengalami perubahan tingkah laku, sikap, dan ketrampilan.

Pada dasarnya terdapat dua pendapat tentang teori belajar yaitu teori belajar aliran behavioristik dan teori belajar kognitif. Teori belajar behavioristik menekankan pada pengertian belajar merupakan perubahan tingkah laku, sehingga hasil belajar adalah sesuatu yang dapat diamati dengan indra manusia langsung tertuangkan dalam tingkah laku. Seperti yang dikemukakan oleh Ahmadi dan Supriono (1991: 121) bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”.

Sedangkan teori belajar kognitif lebih menekankan pada belajar merupakan suatu proses yang terjadi dalam akal pikiran manusia. Seperti juga diungkapkan oleh Winkel (1996: 53) bahwa “Belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif dan berbekas”.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya belajar adalah suatu proses usaha yang melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari proses interaksi aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan dalam bentuk pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, ketrampilan dan nilai sikap yang bersifat relatif dan berbekas.

Sesuai dengan karakteristik matematika maka belajar matematika lebih cenderung termasuk ke dalam aliran belajar kognitif yang proses dan hasilnya tidak dapat dilihat langsung dalam konteks perubahan tingkah laku. Berikut adalah beberapa teori belajar kognitif menurut beberapa pakar teori belajar kognitif:

e. Teori Belajar Piaget

Jean Piaget adalah seorang ilmuwan perilaku dari Swiss, ilmuwan yang sangat terkenal dalam penelitian mengenai perkembangan berpikir khususnya proses berpikir pada anak.

Menurut Piaget setiap anak mengembangkan kemampuan berpikirnya menurut tahap yang teratur. Pada satu tahap perkembangan tertentu akan muncul skema atau struktur tertentu yang keberhasilannya pada setiap tahap amat bergantung pada tahap sebelumnya. Adapun tahapan-tahapan tersebut adalah:

a. Tahap Sensori Motor(dari lahir sampai kurang lebih umur dua tahun)

Dalam dua tahun pertama kehidupan bayi ini, dia dapat sedikit memahami lingkungannya dengan jalan melihat, meraba atau memegang, mengecap, mencium dan menggerakan. Dengan kata lain mereka mengandalkan kemampuan sensorik serta motoriknya. Beberapa kemampuan kognitif yang penting muncul pada saat ini. Anak tersebut mengetahui bahwa perilaku yang tertentu menimbulkan akibat tertentu pula bagi dirinya. Misalnya dengan menendang-nendang dia tahu bahwa selimutnya akan bergeser darinya.

b. Tahap Pra-operasional ( kurang lebih umur dua tahun hingga tujuh tahun)

Dalam tahap ini sangat menonjol sekali kecenderungan anak-anak itu untuk selalu mengandalkan dirinya pada persepsinya mengenai realitas. Dengan adanya perkembangan bahasa dan ingatan anakpun mampu mengingat banyak hal tentang lingkungannya. Intelek anak dibatasi oleh egosentrisnya yaitu ia tidak menyadari orang lain mempunyai pandangan yang berbeda dengannya.

c. Tahap Operasi Konkrit (kurang lebih tujuh sampai sebelas tahun)

Dalam tahap ini anak-anak sudah mengembangkan pikiran logis. Dalam upaya mengerti tentang alam sekelilingnya mereka tidak terlalu menggantungkan diri pada informasi yang datang dari pancaindra. Anak-anak yang sudah mampu berpikir secara operasi konkrit sudah menguasai sebuah pelajaran yang penting yaitu bahwa ciri yang ditangkap oleh pancaindra seperti besar dan bentuk sesuatu, dapat saja berbeda tanpa harus mempengaruhi misalnya kuantitas. Anak-anak sering kali dapat mengikuti logika atau penalaran, tetapi jarang mengetahui bila membuat kesalahan.

d. Tahap Operasi Formal (kurang lebih umur sebelas tahun sampai limabelas tahun)

Selama tahap ini anak sudah mampu berpikir abstrak yaitu berpikir mengenai gagasan. Anak dengan operasi formal ini sudah dapat memikirkan beberapa alternatif pemecahan masalah. Mereka dapat mengembangkan hukum-hukum yang berlaku umum dan pertimbangan ilmiah. Pemikirannya tidak jauh karena selalu terikat kepada hal-hal yang besifat konkrit, mereka dapat membuat hipotesis dan membuat kaidah mengenai hal-hal yang bersifat abstrak.

Berdasarkan uraian diatas, Piaget membagi tahapan perkembangan kemampuan kognitif anak menjadi empat tahap yang didasarkan pada usia anak tesebut.

Teori belajar Piaget memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap perkembangan teori pembelajaran kognitif. Hal ini terbukti dengan banyaknya peneliti yang tertarik melakukan analisis serta memperluas teori tersebut. salah satu kritik yang cukup tajam terhadap teori Piaget adalah berkenaan dengan asumsi bahwa pengertian akan suatu struktur yang sama akan diperoleh pada usia yang sama dalam berbagai domain intelektual. Implikasi dari hal ini adalah ketika seorang anak sudah dapat mengawetkan besaran suatu unsur dengan mengenali bahwa besaran dari benda tersebut sama terlepas dari bentuknya anak secara rasional dapat diduga akan mengawetkan konsep berat, karena struktur antara konsep besaran dan berat sama. Ternyata bersadar pada studi eksperimental yang dilakukan oleh para peneliti hal ini tidak sepenuhnya benar. Hal ini dianggap sebagai sebuah penyimpangan. Penyimpangan yang dimaksud adalah terjadinya perbedaan cara dalam memperoleh sebuah struktur yang sama oleh seorang individu. Dari beberapa hasil pengembangan penelitian dalam teori ini ternyata penyimpangan ini lazim terjadi sebagaimana diungkapkan oleh Biggs dan Collis (1982). Fakta ini memicu sebuah pengembangan teori dari teori Piaget yang dikenal dengan neo-Piagetian theories.

Biggs dan Collis adalah peneliti yang turut melakukan dan analisis teori belajar Piaget. Salah satu isu utama yang dikaji oleh kedua peneliti ini berkaitan dengan struktur kognitif. Teori mereka dikenal dengan Structure of Observed Learning Outcomes (SOLO). Biggs dan Collis (1982: 22) membedakan antara “generalized cognitive structure” atau struktur kognitif umum anak dengan “actual respon” atau respon langsung anak ketika diberikan perintah-perintah. Mereka menerima kebeadaan konsep struktur kognitif umum namun mereka menyakini bahwa hal tersebut tidak dapat diukur langsung sehingga perlu mengacu pada sebuah “hypothesized cognitive structure” (HCS) atau struktur kognitif hipotesis. Menurut mereka HCS ini relative lebih stabil dari waktu ke waktu serta bebas dari pengaruh pembelajaran disaat anak diukur menggunakan taxonomi SOLO dalam menyelesaikan suatu tugas tertentu. Penekan pada suatu tugas tertentu sangat penting seperti yang diasumsikan dalam taksonomi SOLO bahwa penampilan seseorang sangatlah beragam dalam menyelesaikan satu tugas dengan tugas lainnya, hal ini berkaitan erat dengan logika yang mendasarinya, selanjutnya asumsi ini juga meliputi penyimpangan yang dalam model ini dikatakan:

Siswa dapat saja berada pada awal level formal dalam matematika namun berada pada level awal konkrit dalam sejarah, atau bahkan dapat terjadi, suatu hari siswa berada pada level formal di matematika namun dilain hari dia masih berada pada level yang konkrit pada topik yyang berbeda. Hasil observasi seperti ini tidak dapat mengindikasikan terdapatnya “pertukaran” dalam perkembangan kognitif yang berlangsung, tetapi sedikit pertukaran terjadi pada konstruksi yang lebih proximal , pembelajaran, penampilan atau motivasi. Biggs & Collis (1991:60)

Dari uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa teori tersebut lebih menekankan pada analisis terhadap kualitas respon anak. Untuk melihat respon anak diperlukan butir-butir rangsangan. Dan butir-butir rangsangan dalam konteks ini tidak difokuskan untuk melihat kebenaran dari jawaban saja melainkan lebih pada melihat struktur alamiah dari respon siswa dan perubahannya dari waktu ke waktu.

Untuk menjelaskan konsep “pertukaran” yang terjadi dalam pertumbuhan kognitif yang tidak biasa diantara anak-anak sekolah, Biggs & Collis (1991: 60) menyediakan suatu level tersendiri yang diberi nama “post formal mode”. Bagaimanapun juga terdapat satu perbedaan penting dari teori yang dikemukakan Piaget yaitu ketika mode atau level baru mulai muncul, ini tidak akan menggantikan level yang lama begitu saja melainkan dapat berkembang bersamaan. Oleh karena itu model-model tersebut tumbuh sejak lahir hingga dewasa. Level terakhir adalah batas tertinggi dari proses abstraksi yang dapat ditunjukkan anak, bukan seluruh penampilan yang harus menyesuaikan dengan level-nya. Secara khusus, ketika semakin banyak mode yang memungkinkan maka multi-modal fungsioning menjadi normanya.


BAB III

PENUTUP


A. Simpulan

Behaviorisme merupakan salah satu pendekatan untuk memahami perilaku individu. Behaviorisme memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek-aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Manfaat dari beberapa teori belajar adalah :
Membantu guru untuk memahami bagaimana siswa belajar,
Membimbing guru untuk merancang dan merencanakan proses pembelajaran,
Memandu guru untuk mengelola kelas,
Membantu guru untuk mengevaluasi proses, perilaku guru sendiri serta hasil belajar siswa
yang telah dicapai,
Membantu proses belajar lebih efektif, efisien dan produktif,
Membantu guru dalam memberikan dukungan dan bantuan kepada siswa sehingga dapat
mencapai hasil prestasi yang maksimal.

Implikasi perkembangan teori pembelajaran sekarang sangatlah beragam. Guru dapat menerapkan menurut aliran-aliran teori tertentu. Seperti teori behavioristik dalam pembelajaran guru memperhatikan tujuan belajar, karakteristik siswa, dan sebagainya. Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia.

Teori belajar kontruktivisme berangkat dari pendapat bahwa tingkah laku seseorang tidak hanya dikontrol oleh reward dan reinforcement. Menurut mereka tingkah laku seseorang senantiasa didasarkan pada kognitif, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadimenjelaskan bahwa tingkat kejelasan dan keberartian dari apa yang diamati dalam situasi belajar adalah lebih meningkatkan kemampuan belajar seseorang dari pada dengan hukuman dan ganjaran.

B. Saran
Pengertian, prinsip, dan perkembangan teori pembelajaran hendaknya dipahami oleh para pendidik dan diterapkan dalam dunia pendidikan dengan benar, sehingga tujuan pendidikan akan benar-benar dapat dicapai. Dengan memahami berbagai teori belajar, prinsip-prinsip pembelajaran dan pengajaran, pendidikan yang berkembang di bangsa kita niscaya akan menghasilkan output-output yang berkualitas yang mampu membentuk manusia Indonesia seutuhnya.








DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu dan Supriono, Widodo. 1991. Psikologi Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

Baharuddin dan Wahyuni, Nur. 2008. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jogajakarta : Ar-Ruz Media Group.

Hamalik, Oemar. Psikologi Belajar dan Mengajar. 2007. Bandung:Sinar Baru Algesindo Offset

Sudjana, Nana. 1989. Teori-teori Belajar Untuk Pengajaran. Jakarta: UI Press.

Syah,Muhibbin. 2009. Psikologi Belajar. Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada

makalah media pembelajaran


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................         I
DAFTAR ISI...............................................................................................................         II
BAB I    PENDAHULUAN........................................................................................        1
1.1      Latar Belakang...................................................................................................          1
1.2      Rumusan Masalah..............................................................................................          1
1.3      Tujuan................................................................................................................          1
BAB II   PEMBAHASAN..........................................................................................         2
2.1     Pengertian media Pembelaran............................................................................          2
2.2     Tujuan Media Pembelajaran...............................................................................          3
2.3      Manfaat Media Pembelajaran.............................................................................         3
2.4      Macam-macam Media Pembelajaran…………………………………………           5
2.5      Prinsip – prinsip Pemilihan dan Penggunaan Media……………………….....           6
2.6        Faktor-faktor  yang Perlu Diperhatikan dalam Memilih Media Pembelajaran            7
2.7        Kriteria Pemilihan Media……………………………………………………...          9
BAB III   PENUTUP..................................................................................................         11
3.1      Kesimpulan........................................................................................................        11
3.2      Kritik……………………………………………………………………............      11
3.3      Saran…………………………………………………………………………..         11
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................         12
KATA  PENGANTAR

            Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, taufik, dan hidayahnya yang telah dilimpahkan kepada kami, sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.
            Ucapan terima kasih sebesar-besarnya kami sampaikan kepada semua pihak terutama teman-teman yang telah membantu baik moril maupun spirituil sehingga penyusunan makalah ini dapat berjalan dengan lancar dan baik.
            Juga ucapan terima kasih kami sampaikan kepada yang terhormat bapak Sukur Pane, S.Pd, M.Pd. selaku dosen bidang studi Teori Pembelajaran  yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam penyusunan makalah  ini.
            Ibarat pepatah “Tak ada gading yang tak retak”, begitu pula dengan makalah ini kami yakin masih banyak kekurangan-kekurangannya. Untuk itu kami mengharapkan saran-saran yang sifatnya membangun guna menyempurnakan makalah ini.
            Dengan segala kerendahan hati, kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat dalam upaya meningkatkan prestasi.
            Akhir kata, semoga makalah ini dapat menjadi amal ibadah kami dalam mengemban amanah Allah SWT. Amin ....


                                                                                    Bangkalan, 18 Oktober 2011

                                                                                                Penulis
                                                                                    Agus Wedi Amal Husni









BAB I
PENDAHULUAN
1.1      Latar Belakang
Kehidupan manusia setiap detik dapat berubah. Perubahan ini dapat menuju ke segi positif dan segi negatif, dan perubahan ini tidak hanya terjadi di dalam perubahan IPTEK yang semakin modern, tetapi juga sudah mulai merambah ke dunia pendidikan. Dengan adanya perubahan pada dunia pendidikan maka seorang guru dituntut untuk lebih mengasah dan mengeksplorasi kemampuan dirinya dalam mendidik dan mencerdaskan anak bangsa. Sehingga diharapkan dengan adanya perubahan kemajuan zaman dalam bidang IPTEK, akan menunjang juga kemajuan dan perubahan ke segi positif dalam pendidikan. Oleh karena itu, maka pada makalah ini akan dibahas mengenai media pembelajaran,. Dengan adanya makalah ini diharapkan seorang guru mampu menciptakan dan  menggunakan media pembelajaran yang baik , agar pembelajaran yang dilakukan tidak monoton, dan peserta didik memperoleh pengetahuan serta pangalaman yang lebih maksimal.
1.2      Rumusan Masalah
a)      Bagaimana penjelasan  tentang pengertian  media pembelajaran.
b)      Bagaimana penjelasan tentang tujuan media pembelajaran
c)      Bagaimana penjelasan tentang manfaat media pembelajaran
d)     Bagaimana penjelasan tentang macam-macam  media pembelajaran
e)      Bagaimana penjelasan tentang Prinsip – prinsip Pemilihan dan Penggunaan Media
f)       Bagaimana penjelasan tentang Faktor-faktor  yang Perlu Diperhatikan dalam Memilih Media Pembelajaran
g)      Kriteria Pemilihan Media
1.3      Tujuan
a)      Untuk mengetahui pengertian media pembelajaran
b)      Untuk mengetahui tujuan dari media pembelajaran
c)      Untuk mengetahui manfaat media pembelajaran
d)     Untuk mengetahui tentang macam-macam media pembelajaran
e)      Untuk mengetahui Prinsip – prinsip Pemilihan dan Penggunaan Media
f)       Untuk mengetahui Faktor-faktor  yang Perlu Diperhatikan dalam Memilih Media Pembelajaran
g)      Kriteria Pemilihan Media

BAB II
PEMBAHASAN

2.1              Pengertian Media Pembelajaran
Secara etimologi, kata “media” merupakan bentuk jamak dari “medium”, yang berasal dan Bahasa Latin “medius” yang berarti tengah. Sedangkan dalam Bahasa Indonesia, kata “medium” dapat diartikan sebagai “antara” atau “sedang” sehingga pengertian media dapat mengarah pada sesuatu yang mengantar atau meneruskan informasi (pesan) antara sumber (pemberi pesan) dan penerima pesan. Media dapat diartikan sebagai suatu bentuk dan saluran yang dapat digunakan dalam suatu proses penyajian informasi (AECT, 1977:162).
Istilah media mula-mula dikenal dengan alat peraga, kemudian dikenal dengan istilah audio visual aids (alat bantu pandang/dengar). Selanjutnya disebut instructional materials (materi pembelajaran), dan kini istilah yang lazim digunakan dalam dunia pendidikan nasional adalah instructional media (media pendidikan atau media pembelajaran). Dalam perkembangannya, sekarang muncul istilah e-Learning. Huruf “e” merupakan singkatan dari “elektronik”. Artinya media pembelajaran berupa alat elektronik, meliputi CD Multimedia Interaktif sebagai bahan ajar offline dan Web sebagai bahan ajar online.
Berikut ini beberapa pendapat para ahli komunikasi atau ahli bahasa tentang pengertian media yaitu:
1)      orang, material, atau kejadian yang dapat menciptakan kondisi sehingga memungkinkan siswa dapat memperoleh pengetahuan, keterapilan, dan sikap yang baru, dalam pengertian meliputi buku, guru, dan lingkungan sekolah (Gerlach dan Ely dalam Ibrahim, 1982:3)
2)      saluran komunikasi yang digunakan untuk menyampaikan pesan antara sumber (pemberi pesan) dengan penerima pesan (Blake dan Horalsen dalam Latuheru, 1988:11)
3)      komponen strategi penyampaian yang dapat dimuati pesan yang akan disampaikan kepada pembelajar bisa berupa alat, bahan, dan orang (Degeng, 1989:142)
4)      media sebagai segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dan pengirim pesan kepada penerima pesan, sehingga dapat merangsang pildran, perasaan, perhatian, dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa, sehingga proses belajar mengajar berlangsung dengan efektif dan efesien sesuai dengan yang diharapkan (Sadiman, dkk., 2002:6)
5)      alat yang secara fisik digunakan untuk menyampaikan isi materi, yang terdiri antara lain buku, tape-recorder, kaset, video kamera, video recorder, film, slide, foto, gambar, grafik, televisi, dan komputer (Gagne dan Briggs dalam Arsyad, 2002:4)

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa media pengajaran adalah bahan, alat, maupun metode/teknik yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar dengan maksud agar proses interaksi komunikasi edukatif antara guru dan anak didik dapat berlangsung secara efektif dan efesien sesuai dengan tujuan pengajaran yang telah dicita-citakan.
2.2.         Tujuan Media Pembelajaran
Penggunaan media pengajaran sangat diperlukan dalam kaitannya dengan peningkatan mutu pendidikan. Menurut Achsin (1986:17-18) menyatakan bahwa tujuan penggunaan media pengajaran adalah:
1)      agar proses belajar mengajar yang sedang berlangsung dapat berjalan dengan tepat guna dan berdaya guna,
2)      untuk mempermudah bagi guru/pendidik daiam menyampaikan informasi materi kepada anak didik,
3)      untuk mempermudah bagi anak didik dalam menyerap atau menerima serta memahami materi yang telah disampaikan oleh guru/pendidik,
4)      untuk dapat mendorong keinginan anak didik untuk mengetahui lebih banyak dan mendalam tentang materi atau pesan yang disampaikan oleh guru/pendidik,
5)      untuk menghindarkan salah pengertian atau salah paham antara anak didik yang satu dengan yang lain terhadap materi atau pesan yang disampaikan oleh guru/pendidik.

Sedangkan Sudjana, dkk. (2002:2) menyatakan tentang tujuan pemanfaatan media adalah:
1)      pengajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat menimbulkan motivasi,
2)      bahan pelajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat lebih dipahami,
3)      metode mengajar akan lebih bervariasi, dan
4)      siswa akan lebih banyak melakukan kegiatan belajar.

Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan penggunaan media adalah:
1)      efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan belajar mengajar,
2)      meningkatkan motivasi belajar siswa,
3)      variasi metode pembelajaran, dan
4)      peningkatan aktivasi siswa dalam kegiatan belajar mengajar.

2.3.         Manfaat Media Pembelajaran
Perolehan pengetahuan siswa seperti yang digambarkan oleh kerucut pengalaman Edgar dale bahwa pengetahuan akan semakin abstrak apabila pesan hanya disampaikan melalui kata verbal. Hal ini memungkinkan terjadinya verbalisme. Artinya siswa hanya mengetahui tentang kata tanpa memahami dan mengerti makna yang terkandung didalamnya. Hal semacam ini akan menimbulkan kesalahan persepsi siswa. Oleh sebab itu, sebaiknya siswa memiliki pengalaman yang lebih konkrit, pesan yang ingin disampaikan benar-benar dapat mencapai sasaran dan tujuan.
Secara umum media mempunyai kegunaan:
1.      Memperjelas pesan agar tidak terlalu verbalistis.
2.      Mengatasi keterbatasan ruang, waktu tenaga dan daya indera.
3.      Menimbulkan gairah belajar, interaksi lebih langsung antara murid dengan sumber belajar.
4.      Memungkinkan anak belajar mandiri sesuai dengan bakat dan kemampuan visual, auditori & kinestetiknya.
5.      Member rangsangan yang sama, mempersamakan pengalaman & menimbulkan persepsi yang sama.

Selain itu konstribusi media pembelajaran menurut Kemp and Dayton, 1985:
1.      Penyampaian pesan pembelajaran dapat lebih terstandar
2.      Pembelajaran dapat lebih menarik
3.      Pembelajaran menjadi lebih interaktif dengan menerapkan teori belajar
4.      Waktu pelaksanaan pembelajaran dapat diperpendek
5.      Kualitas pembelajaran dapat ditingkatkan
6.      Proses pembelajaran dapat berlangsung kapanpun dan dimanapun diperlukan
7.      Sikap positif siswa terhadap materi pembelajaran serta proses pembelajaran dapat ditingkatkan
8.      Peran guru dapat berubah kea rah yang positif

Dalam kaitannya dengan fungsi media pembelajaran, dapat ditekankan beberapa hal berikut ini:
1.      Penggunaan media pembelajaran bukan merupakan fungsi tambahan, tetapi memliki fungsi tersendiri sebagai sarana bantu untuk mewujudkan situasi pembelajaran yang lebih efektif.
2.      Media pembelajaran merupakan bagian integral dari keseluruhan proses pembelajaran. Hal ini mengandung pengertian bahwa media pembelajaran sebagai salah satu komponen yang tidak berdiri sendiri tetapi saling berhubungan dengan komponen  lainnya  dalam rangka menciptakan situasi belajar yang diharapkan.
3.      Media pembelaran dalam penggunaannya harus relevan dengan kompetensi yang ingin dicapai dan isi pembelajaran  itu sendiri. Fungsi ini mengandung makna bahwa penggunaan media dalam pembelajaran harus selalu melihat kepada kompetensi dan bahan ajar.
4.      Media pembelajaran bukan berfungsi sebagai alat  hiburan, dengan demikian tidak diperkenankan menggunakannya hanya sekedar untuk permainan atau memancing perhatian siswa semata.
5.      Media pembelajaran bisa berfungsi untuk mempercepat proses belajar. Fungsi ini mempunyai arti bahwa dengan media pembelajaran siswa dapat menangkap tujuan dan bahan ajar lebih mudah dan lebih cepat.
6.      Media pembelaran berfungsi untuk meningkatkan kualitas proses belajar mengajar . Pada umumnya hasil belajar siswa dengan menggunakan media pembelajaran  akan  tahan lama mengendap sehingga kualitas pembelajaran memiliki nilai yang tinggi.
7.      Media pembelajaran meletakkan dasar –dasar yang konkret untuk berfikir, oleh karena itu dapat mengurangi terjadinya penyakit verbalisme.
Selain fungsi-fungsi sebagaimana  yang di uraikan diatas, media pembelajaran ini juga memiliki nilai dan manfaat sebagai berikut:
1.      Membuat konkrit konsep-konsep yang abstrak. Konsep-konsep yang dirasakan masih bersifat abstrak dan sulit dijelaskan secara langsung kepada siswa bisa dikonkritkan atau disederhanakan melalui pemanfaatan media pembelajaran. Misalnya untuk menjelaskan tentang system peredaran darah manusia, arus listrik,dsb. Bisa menggunakan media gambar atau bagan sederhana.
2.      Menampilkan objek yang terlalu besar atau kecil. Misalnya guru akan menyampaikan gambaran mengenai kapal laut, pesawat udara, candi, dsb. Atau menampilkan objek-objek yang terlalu kecil seperti bakteri, virus, semut, nyamuk, atau benda kecil.
3.      Memperlihatkan gerakan yang terlalu cepat atau lambat. Dengan menggunakan tekhnik gerakan lambat dalam media film bisa memperlihatkan tentang lintasan peluru, melesetnya anak panah atau memperlihatkan suatu ledakan. Demikian juga gerakan-gerakan yang terlalu lambat seperti pertumbuhan kecambah dan lain-lain.

2.4.         Macam-macam Media Pembelajaran
Media yang telah dikenal dewasa ini tidak hanya terdiri dari dua jenis, tetapi lebih dari itu. Klasifikasinya bisa dilihat dari jenisnya, daya liputnya, dan dari bahan serta cara pembuatannya. Semua ini akan dijelaskan pada pembahasan berikut.

A.  Dilihat dari Jenisnya, Media Dibagi Dalam:
1.    Media Auditif
Media auditif adalah media yang hanya mengandalkan kemampuan suara saja, seperti radio, cassette recorder. Media ini tidak cocok untuk orang tuli atau mempunyai kelainan dalam pendengaran.
2.    Media Visual
Media visual adalah media yang hanya mengandalkan indra penglihatan. Media visual ini ada yang menampilkan gambar diam seperti foto, gambar atau lukisan, dan cetakan. Ada pula media visual yang menampilkan gambar atau simbol yang bergerak seperti film kartun.
3.    Media Audiovisual
Media audiovisual adalah media yang mempunyai unsur suara dan unsur gambar. Jenis media ini mempunyai kemampuan yang lebih baik, karena meliputi kedua jenis media yang pertama dan kedua.

B.  Dilihat Dari Daya Liputnya, Media Dibagi Dalam:
1.    Media dengan Daya Liput Luas dan Serentak
Pengguanaan media ini tidak terbatas oleh tempat dan ruang serta dapat menjangkau jumlah anak didik yang banyak dalam waktu yang sama. Contoh: radio, televisi.
2.    Media dengan daya Liput yang Terbatas oleh Ruang dan Tempat
Mediaini dalam penggunaannya membutuhkan ruang dan tempat yang khusus seperti sound slide, film rangkai, yang harus menggunakan tempat yang tertutup dan gelap.
3.    Media untuk Pengajaran Individual
Media ini penggunaannya hanya untuk seorang diri. Termasuk media ini adalah modul berprogram dan pengajaran melalui computer.

C. Dilihat dari Bahan Pembuatannya, Media Dibagi Dalam:
1.    Media Sederhana
Media bahan dasarnya mudah diperoleh dan harganya murah, cara pembuatannya mudah, dan penggunaannya tidak sulit.
2.    Media Kompleks
Media ini adalah media yang bahan dan alat pembuatannya sulit diperoleh serta mahal harganya, sulit membuatnya, dan penggunaannya memerlukan ketrampilan yang memadai.

2.5.         Prinsip – prinsip Pemilihan dan Penggunaan Media
Sebagaimana dijelaskan didepan bahwa media mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing, maka diharapkan kepada guru agar menentukan pilihannya sesuai dengan kebutuhan. Hal ini dimaksudkan jangan sampai penggunaan media menjadi penghalang proses belajar mengajar yang akan guru lakukan dikelas. Harapan yang besar tentu saja agar media menjadi alat bantu yang dapat mempercepat/mempermudah pencapaian tujuan pengajaran.
Ketika suatu media akan dipilih, ketika suatu media akan dipergunakan, ketika itulah beberapa prinsip perlu guru perhatikan dan dipertimbangkan.
Drs. Sudirman N. (1991) mengemukakan beberapa prinsip pemilihan media yang dibaginya kedalam tiga kategori, sebagai berikut:

1.      Tujuan Pemilihan
Memilih media yang akan digunakan harus berdasarkan maksud dan tujuan pemilihan yang jelas. Apakah pemilihan media itu untuk pembelajaran (siswa belajar ), untuk innformasi yang bersifat umum, ataukah hanya sekedar hiburan saja mengisi waktu kosong? Lebih spesifik lagi, apakah untuk pengajaran kelompok atau pengajaran individual, apakah untuk sasaran tertentu seperti anak TK, SD, SMP, SMA, tuna rungu, tuna netra, masyarakat pedesaan, ataukah masyarakat perkotaan. Tujuan pemilihan ini berkaitan dengan kemampuan berbagai media.
2.      Karakteristik Media Pembelajaran
Setiap media mempunyai karakteristik tertentu, baik dilihat dari segi keampuhannya, cara pembuatannya, maupun cara penggunaannya. Memahami karakteristik berbagai media pembelajaran merupakan kemampuan dasar yang harus dimiliki guru dalam kaitannya dengan keterampilan pemilihan media pembelajaran. Di samping itu, memberikan kemungkinan pada guru untuk menggunakan berbagai jenis media pembelajaran secara bervariasi. Sedankan apabila kurang memahami karakteristik media tersebut, guru akan dihadapkan kepada kesulitan dan cenderung bersikap spekulatif.
3.      Alternative Pilihan
Memilih pada hakekatnya adalah proses membuat keputusan dari berbagai alternative pilihan. Guru bisa menentukan pilihan media mana yang akan digunakan apabila terdapat beberapa media yang dapat diperbandingkan. Sedangkan apabila media pembelajaran itu hanya ada satu, maka guru tidak bisa memilih, tetapi menggunakan apa adanya.

            Dalam menggunakan media hendaknya guru memperhatikan sejumlah prinsip tertentu agar penggunaan media tersebut dapat mencapai hasil yang baik. Prinsip-prinsip itu menurut Dr. Nana Sudjana (1991:104) adalah:
a)      Menentukan jenis media dengan dengan tepat; artinya, sebaiknya guru memilih terlebih dahulu media manakah yang sesuai dengan tujuan dan bahan pelajaran yang akan diajarkan.
b)      Menetapkan atau memperhitungkan subjek dengan tepat; artinya, perlu diperhitungkan apakah penggunaan media itu sesuai dengan tingkat kematangan/kemampuan anak didik.
c)      Menyajikan media dengan tepat; artinya, teknik dan metode penggunaan media dalam pengajaran haruslah disesuaikan dengan tujuan, bahan metode, waktu, dan sarana yang ada.
d)     Menempatkan atau memperlihatkan media pada waktu, tempat dan situasi yang tepat. Artinya, kapan dan dalam situasi mana pada waktu mengajar media digunakan. Tentu tidak setiap saat atau selama proses belajar mengajar terus menerus memperlihatkan atau menjelaskan sesuatu dengan media pengajaran.

2.6.          Faktor-faktor  yang Perlu Diperhatikan dalam Memilih Media Pembelajaran
a)      Objektivitas
Unsur subjektivitas guru dalam memilih media pembelajaran harus dihindarkan. Artinya, guru tidak boleh mimilih suatu media pembelajaran atas kesenangan pribadi. Apabila secara objektif, berdasarkan hasil penelitian dan percobaan, suatu media pembelajaran menunjukkan keefektifan dan keefesiansi yang tinggi, maka guru jangan merasa bosan menggunakannya. Untuk menghindari pengaruh unsur subjektivitas guru, alangkah baiknya apabila dalam memilih media pembelajaran itu guru meminta pandangan atau saran dari sesama guru, dan/atau melibatkan siswa.



b)      Program pengajaran
Program pengajaran yang akan disampaikan kepada anak didik harus sesuai dengan kurikulum yang berlaku, baik isinya, strukturnya, maupun kedalamannya. Meskipiun secara teknis program itu sangat sangat baik, jika tidak sesuai dengan kurikulum ia tidak akan banyak membawa manfaat; bahkan mungkin hanya menambah beban, baik bagi anak didik maupun bagi guru disamping akan membuang-buang waktu, tenaga dan biaya. Terkecuali jika program itu hanya dimaksudkan untuk mengisi waktu senggang saja, dari pada anak didik bemain-main tidak karuan.

c)      Sasara Program
Sasaran program yang dimaksud adalah anak didik yang akan menerima informasi pengajaran melalui media pengajaran. Pada tingkat usia tertentu dan dalam kondisi tertentu anak didik mempunyai kemampuan tertentu pula, baik cara berfikirnya, daya imajinasinya, kebutuhannya, maupun daya tahan dalam belajarnya. Untuk itu maka media yang akan digunakan harus dilihat kesesuaiannya dengan tingkat perkembangan anak didik, baik dari segi bahasa, symbol-simbol yang digunakan, cara dan kecepatan penyajiannnya, ataupun waktu penggunaannya.

d)      Situasi dan Kondisi
Situasi dan kondisi yang ada juga perlu mendapat perhatian dalam menentukan pilihan media pembelajaran yang akan digunakan. Situasi dan kondisi yang dimaksud meliputi:
1.    Situasi dan kondisi sekolah atau tempat dan ruangan yang akan dipergunakan, seperti ukurannya, perlengkapannya, ventilasinya.
2.    Situasi dan kondisi anak didik yang akan mengikuti pelajaran mengenai jumlahnya, motivasi, dan kegairahannya. Anak didik yang sudah melakukan praktik yang berat, seperti praktik olahraga, biasanya kegairahan belajarnya sangat menurun.

e)      Kualits Teknik
Dari segi teknik, media pembelajaran yang akan digunakan perlu diperhatikan, apakah sudah memenuhi syarat. Barangkali ada rekaman audionya atau gambar-gambar atau alat-alat bantunya yang kurang jelas atau kurang lengkap, sehingga perlu penyempurnaan sebelum digunakan. Suara atau gambar yang kurang jelas bukan saja tidak menarik, tetapi juga dapat menggangu jalannya proses belajar mengajar.

f)        Keefektifan dan Efisiensi Penggunaan
Keefektifan berkenaan dengan hasil yang dicapai, sedangkan efisiensi berkenaan dengan proses pencapaian hasil tersebut. Keefektifan dalam penggunaan media meliputi apakah dengan menggunakan media tersebut informasi pengajaran dapat diserap oleh anak didik dengan optimal, sehingga menimbulkan perubahan tingkah lakunya. Sedangkan efesiensi meliputi apakah dengan menggunakan media tersebut waktu, tenaga, dan biaya yang dikeluarkan unuk mencapai tujuan tersebut sedikit mungkin. Ada media yang dipandang sangat efektif untuk mencapai suatu tujuan, namun proses pencapaiannya tidak efisien,baik dalam pengadaannya maupun di penggunaannya. Demikian pula sebaliknya, ada media yang efisien dalam pengadaannya atau penggunaanya, namun tidak efektif  dalam pencapaian hasilnya. Memang sangat sulit untuk mempertahankan keduanya (efektif dan efisien) secara bersamaan, tetapi didalam memilih media pengajaran guru sedapat mungkin menekan jarak diantara keduanya.

2.7.         Kriteria Pemilihan Media Pembelajaran
          Apabila akan menggunakan media pengajaran dengan cara memanfaatkan media yang telah ada, guru dapat menjadikan kriteria berikut sebagai bahan acuan:
a.              Apakah topik yang akan dibahas dalam media tersebut dapat menarik minak anak didik untuk belajar?
b.             Apakah materi yang yang terkandung dalam materi tersebut penting dan berguna bagi anak didik?
c.              Apa bila media itu sebagai sumber penbelajaran yang pokok , apakah isinya relevan dengan kurikulum yang berlaku?
d.             Apakah materi yang disajikan otentik dan aktual, ataukah informas yang sudah lama diketahui massa dan ataupun peristiwa yang telah lama terjadi?
e.              Apakah fakta dan konsepnya terjamin kecermatnnya atau ada suatu hal yang masih diragukan?
f.              Apakah format penyajiannya berdasarkan tata urutan belajar yang logis?
g.             Apakah pandangannya okjektif dan tidak mengandung unsur propa ganda atau hasutan terhadap anak didik?
h.             Apakah narasi, gambar, efek, warna dan sebainya, memenuhi syarat kualitas teknis?
i.               Apakah bobot penggunaan bahasa, symbol-simbol dan ilustrasinya, sesuai dengan tingkat kematangan berfikir anak didik?
j.               Apakah sdah diuji kesahihannya (validtas) ?

            Untuk jenis media rancangan ( yang dibuat sendiri), pertanyaan yang dijadikan acuan di antaranya sebagai berikut:
a.              Apakah materi yang akan di sampaikan itu untuk tujuan pembelajaran atau alat bantu  pengajaran atau hanya informasi  tambahan atau hiburan?
b.             Apakah media yang dirancang itu untuk keperluan pembelajaran atau alat bantu pembelajaran (peraga)?
c.              Apakah dalam pengajarannya akan menggunakan setrategi kognitif, afektif., atau psikomotorik?
d.             Apakah materi dalam pembelajaran yang akan disampaikan itu masih asing bagi anak didik?
e.              Apakah perlu rangsangan gerak seperti untuk pembelajaran bahasa?
f.              Apakah perlu rangsangan seperti pembelajaran seni atau olahraga?
g.             Apakah perlu rangsangan warna?

            Setelah tujuh pertanyaan tersebut di jawab, maka guru dapat mengajukan alternative media yang akan dirancang. Alternative tersebut mungkin jenis media audio, media visual, atau media audiovisual. Selanjutnya ajukan lagi pertanyaan sebagai acuanberikutnya.
a.       Apakah bahan dasarnya tersedia atau mudah diperoleh?
b.      Apakah alat pembuatannya tersedia?
c.       Apakah  pembuatannya tidak  terlalu rumit?
d.      Apakah menghadapi kesulitan, apakah orang-orang dapat di mintai bantuannya?
e.       Apakah mudah dalam penggunaannya dan apakah tidak membahayakan seperti meledak, menimbulkan kebaaran dan sebagainya?
f.       Apakah tersedia dana untuk pembuatannya?
            Setelah pertanyaan pertanyaan itu terjawab , akhirnya guru dapat menentkan media mana yang dianggap cocok untuk diproduksi. Apabila ternyata tidak ada satu mediapun yang dapat diproduksi (dirancang), maka guru harus mencari guru pengajar lainnya, misalnya menggunakan narasumber (resource person).























BAB III
PENUTUP

3.1    Kesimpulan
Media pembelajaran adalah bahan, alat, maupun metode/teknik yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar dengan maksud agar proses interaksi komunikasi edukatif antara guru dan anak didik dapat berlangsung secara efektif dan efesien sesuai dengan tujuan pengajaran yang telah dicita-citakan. Dalam Suatu proses belajar mengajar, dua unsure yang amat penting adalah metode mengajar dan media pembelajaran.

3.2    Kritik
Banyak para pendidik menyampaikan materi secara menoton tanpa adanya peubahan atau cara menyampaikan materi dengan menggunakan media yang menarik dan dapat dimengerti sehingga siswa cepat menerima materi.

3.3    Saran
Pengertian, tujuan, manfaat,  macam-macam media, Prinsip – prinsip Pemilihan dan Penggunaan Media, dan Faktor-faktor  yang Perlu Diperhatikan dalam Memilih Media pembelajaran hendaknya dipahami oleh para pendidik dan diterapkan dalam dunia pendidikan dengan benar, sehingga tujuan pendidikan akan benar-benar dapat dicapai.





















DAFTAR PUSTAKA

Iyor,Davies. 1987. Pengelolaan Belajar. Jakarta; Rajawali Pers.
Sudjana, Nana dan Rivai, Ahmad . 1991. Media Pengajaran. Bandung; Sinar Baru.
Susilana, Rudi dan Riyana , Cepi. 2007. Media Pembelajaran. Bandung; Wacana Prima.
Bahri, Syaiful Djamarah dan Zain, Azwan. 2010. Strategi Belajar Mengajar, Jakarta;Rineka Cipta.
Kustandi, Cecep dan Sutjipto, Bambang. 2011. Media Pembelajaran. Jakarta; Ghalia Indonesia.